Otak Sosial Primitif di Dunia Kerja Modern

Penulis: dr. Hendy Wijaya - Takeda Research Fellow at Diabetes and Endocrinology Laboratory di Kobe University

Dulu di klinikku itu ada sekitar 20-an orang staff, termasuk aku sendiri. Aktivitas klinik sehari-hari lebih banyak terjadi di lantai satu,dua, dan empat. Lantai satu ada lobi dan apotek, di lantai dua ada ruang konsultai dan perawatan. Kami tiidak punya ruang pantry yang luas, pun tidak ada apa-apa di sana. Tidak ada kudapan, mie instan, kompor, kulkas, atau dispenser. Ruang pantry sebenarnya hanya sisa ruang di pojokan lantai empat. Dulu saat mendesain klinik kami berpikir kalau ruang pantry itu tidak penting, tidak menghasilkan ‘revenue’ bagi klinik. Dugaan kami keliru.


Antara staff lantai satu dan dua sering cekcok, seolah terbentuk dua kubu berbeda yan saling berseteru di banyak kesempatan. Meski mereka semua bekerja di dalam satu perusahan yang sama, ada semacam mentalitas ‘kami lawan mereka’ di benak mereka. Tak jarang mereka saling jegal dalam menjalankan tugas. Sesuatu yang buruk bagi suasana kerja klinik secara keseluruhan. Dulu aku kira perseteruan semacam itu hanya karena kesalahpahaman biasa. Sekarang aku mengerti kalau ketiadaan pantry itu salah satu faktor yang berperan penting.

Apa hubungannya pantry dengan mentalitas kelompok?

Dalam bukunya yang berjudul “Grooming, Gossip, and The Evolution of Language”, Robin Dunbar, pakar Antropologi dari Oxford University, Inggris, pernah menceritakan kejadian di sebuah kantor stasiun televisi di Inggris yang lebih kurang mirip dengan apa yang terjadi di klinikku dulu. Kantor stasiun TV itu dulu memiliki ruang pantry yang cukup luas dengan berbagai fasilitas penunjangnya, mulai dari bemacam snack, tv kecil, kulkas, kompor, mesin fotokopi, dan meja yang besar. Para karyawan sering menghabiskan waktu rehat siangnya di sana bersama-sama. Mereka makan bersama, bergurau, menonton acara televisi yang sama, masak sama-sama, atau saling berbagi dan mencicipi masakan mereka masing-masing. Keintiman sosial dibangun di ruang itu. Mereka semua, yang berjumlah sekitar 150-an orang, adalah tim kerja yang solid. 

Suatu hari pihak kantor memutuskan memindahkan kantor mereka ke gedung yang baru. Di gedung baru itu semuanya mulai berubah. Kerjasama antar tim mulai retak, produktivitas kerja para karyawan mulai rontok, antar karyawan sering terjadi cekcok. Semuanya terjadi tanpa ada yang tahu apa sebabnya. Mungkin beberapa orang akan mengira  ada yang salah dengan fengshui gedung yang baru atau, jangan-jangan gedungnya angker, minta tumbal. Dari sini mbah dukun dan suhu Yo dapat duit.

Rupanya ketika si arsitek mendesain gedung yang baru, ia menuruti permintaan pihak kantor agar meniadakan ruang pantry. Pihak kantor menganggap ruang pantry adalah sebuah kemewahan yang tidak perlu. Ruang yang sama bisa digunakan untuk hal-hal lain yang lebih produktif. Biarkan para karyawan menghabiskan makan siangnya di meja kerjanya masing-masing. Irit tempat, sekaligus irit waktu.  

Mereka tidak sadar bahwa dengan menghilangkan ruang pantry, mereka telah menghilangkan ruang bagi para karyawannya untuk membangun keintiman sosial. Di dalam pantry itu antar individu bisa saling mengenal pribadi masing-masing dan bertukar pikiran untuk segala persoalan yang mereka hadapi. Bukan hanya persoalan pekerjaan tapi juga termasuk persoalan pribadi. Satu orang mengeluh anaknya sakit, tiba-tiba ada yang memberikan saran ke mana harus berobat atau obat apa yang harus diberikan. Satu orang lagi mengeluh lemah syahwat, akan selalu ada saja rekan kerja lain yang tahu di mana beli obat kuat Ahong. Di dalam pantry itu pula mereka bergosip, berbagi informasi tentang siapa lagi apa, tempat makan baru, film drakor baru, atau berbagi hard disk portabel berisi koleksi film silat ranjang. Kohesi sosial dibangun di atas hal-hal kecil seperti itu, selayaknya primata membangun kohesi sosial kelompoknya melalui aktivitas ‘grooming’ bersama.

Tanpa ada keakraban, tidak akan pernah terbentuk kerjasama tim yang solid dan efektif. Kita tidak bisa berharap orang-orang yang tidak kenal satu sama lain, tanpa ikatan darah, tiba-tiba saling bekerja sama demi satu tujuan. Jargon-jargon “keluarga besar” yang selalu diucapkan di setiap kali meeting korporat tidak akan serta merta membangkitkan kesadaran kolektif tentang pentingnya kerjasama tim di benak para karyawan. Demikian juga dengan aktivitas piknik bersama. Orang lebih mungkin akrab dan saling percaya dengan rekan-rekan kerjanya yang nongkrong di warteg yang sama setiap hari daripada yang piknik bersama beberapa kali setahun. Mereka semua adalah individu yang berbeda dengan kepentingannya masing-masing, bukan mesin. 

Jadi, lain kali kita menginginkan kerjasama tim yang solid dan efektif demi mendongkrak produktivitas kerja mereka di tempat kerja, buatlah ruangan spesifik yang bisa mengakomodir naluri sosialnya. Di sanalah para manusia berkumpul mengitari api unggun untuk saling berbagi membangun komunitas sosial yang intim. Di mana lagi mereka harus memenuhi naluri itu kalau sebagian besar waktunya dihabiskan di tempat kerja? Jumlah pengguna media sosial yang terus tumbuh di kalangan penduduk urban adalah pertanda bahwa mereka haus bersosialisasi di tengah himpitan beban kerja. 

Gadget dan semua benda yang melekat di atas tubuh kita semua memang produk peradaban modern, tapi otak kita adalah warisan biologis berusia jutaan tahun yang masih membawa naluri sosial primitifnya.

Sumber: https://web.facebook.com/hendy.wijaya.180

Komentar