Mendidik Anak Ala Yahudi

Penyadur: Irsan Yanuar

Sumber: 4 secrets of Jewish parenting By NARA SCHOENBERG CHICAGO TRIBUNE

https://www.chicagotribune.com/lifestyles/sc-jewish-parenting-secrets-1004-20160930-story.html


Kita semua sering mendengar bahwa bangsa Yahudi adalah bangsa yang banyak prestasi dan sumbangannya di berbagai bidang. Meskipun populasi bangsa Yahudi kurang dari 1% penduduk dunia, mereka telah memenangkan 170 dari 850 Hadiah Nobel, 21% mahasiswa Ivy League (8 besar universitas di Amerika), 37% sutradara pemenang Oscar, dan 51% pemenang Hadiah Pulitzer untuk kategori nonfiksi.

Pencapaian ini sangat menarik, ditambah posisi bangsa Yahudi yang menonjol di bidang ekonomi. Membuat kita penasaran, sebenarnya apa yang istimewa dan dapat dicontoh dari mereka? Mungkinkah salahsatu faktor pentingnya adalah pendidikan anak? Mari kita simak tips parenting orangtua Yahudi sebagaimana ditulis di ‘4 secrets of Jewish parenting Oleh NARA SCHOENBERG CHICAGO TRIBUNE’


Ajari Agar Tidak Mudah Percaya Begitu Saja

Dorong anak untuk selalu berdebat dan berpendapat dengan sopan. Perdebatan akan mengasah kemampuan berpikir kritis. Bebaskan berdebat dengan pemuka agama, orangtua, guru, atau pemimpin. Jangan percaya dan menurut begitu saja apa yang dikatakan orang lain.

Biasakan juga bertanya pada anak. Kenapa begini? Kenapa begitu? Untuk memeriksa bagaimana pemahaman dan pandangan mereka akan segala sesuatu. Tunjukkan kesalahan logikanya jika ada. 

Catatan: Ini sangat bertolakbelakang dengan kebiasaan kebanyakan orangtua di Indonesia, yang mengharapkan anak yang penurut dan patuh pada orangtua dan guru. Mendebat orangtua atau guru, atau ulama dianggap tabu. Akibatnya kemampuan berpikir kritis si anak tidak akan terasah dengan baik. Anak menguasai suatu materi karena hapal, bukan karena pemahaman. 

Tentunya demokrasi seperti ini menuntut orangtua/ guru yang terbuka pikirannya, serta menjauhi sikap otoriter terhadap anak, apalagi membungkam pendapat anak.


Ekspos Pada Berbagai Aktivitas

Anak Yahudi dibiarkan mengeksplorasi aktivitas, sehingga dapat menentukan kesukaannya sendiri. Bermain, berteman, dan bersosialisasi bukanlah gangguan belajar, melainkan dipandang sebagai salahsatu aktivitas belajar juga. Anak- anak dapat belajar dari teman- temannya dari aktivitas bermain. Ini mengasah kemampuan sosialnya.

Jika anak menyukai sesuatu, doronglah dia, meskipun kesukaannya itu nampak tak berguna, norak, atau tidak bermakna. Tidak usah peduli apakah hobinya membuat dia populer atau tidak. Janganlah mendorong anak untuk berprestasi main piano, melukis, dsb. yang bertujuan membuat mereka populer, atau sekedar memuaskan ego orangtua. Yang terpenting, hobi itu akan terus menginspirasi hidupnya.

Catatan: Ini juga sering bertolak belakang dengan orangtua di Indonesia, dimana orangtua memaksakan keinginannya terhadap anak. Misalnya dipaksa les piano, atau les bahasa, atau beladiri, yang sebenarnya tidak mereka sukai. 


Membaca dan Tertawa

Humor dan minat baca sangat berpengaruh pada kesuksesan anak di kemudian hari. Belikan buku  yang mereka sukai, rekomendasikan buku bacaan untuk anak. Tanyakan tentang buku yang mereka sukai, tokoh- tokohnya, jalan ceritanya, hikmah ceritanya, dsb.

Jangan paksa mereka untuk membaca buku tertentu. Biarkan buku bergeletakan di rumah hingga anak penasaran dan membacanya.

Catatan: Minat baca tulis adalah awal kesuksesan bangsa Yahudi yang saya tuliskan di artikel lain web ini. Demikian pentingnya minat baca tulis ini, sehingga merevolusi bangsa Yahudi dari petani di Galilea menjadi bangsa yang sukses di abad 21 ini. Jika ingin menjadi bangsa yang sukses, bangkitkan minat baca tulis pada anak- anak kita. 


Asah Empati

Latihlah anak untuk peduli dan menjalin hubungan baik dengan orang lain. Suatu karakter yang dapat mendorongnya menjadi dokter, aktivis, peneliti, dsb. Dengan mengasah empati, bidang seni pun menjadi pilihan masa depan, seperti artis, pemusik, komposer, dsb.

Ajak anak untuk berderma, menolong, aksi sosial, dsb. Melatih empati ini akan mempermudah sosialisasi, karir, kerjasama tim, kepemimpinan, dan peran anak di masa depannya.

Catatan: Prestasi anak Indonesia terlalu banyak diukur dari pencapaian individu. Ada baiknya hal ini dikombinasikan dengan pencapaian tim, sehingga melatih anak untuk mampu bekerjasama dengan baik.


Kesimpulan

Menarik kan? Nah pesan terakhir, tidak perlulah kita mendidik anak agar dikagumi orang atau memuaskan ego. Banyak sekali orangtua yang membangga- banggakan prestasi anak di sekolah, juara ini itu. Yang sebenarnya membebani anak untuk kepuasan orangtua.

Lagipula kebiasaan ini juga menumbuhkan anak yang haus pujian. Saat dewasa, mereka berusaha berprestasi untuk mendulang pujian dan kekaguman saja, dan ini akan menjadi kehidupan yang sangat berat bagi mereka. Biarkan mereka mengembangkan bakat dan kepuasannya sendiri.

Salam!


Komentar