Menuju Kebijakan UMKM yang Lebih Baik

Semakin hari, semakin jelaslah bahwa peran UMKM semakin dominan sebagai kelompok ekonomi terbesar di Indonesia. Data Kementerian Koperasi dan UKM 2018 menunjukkan bahwa UMKM telah berhasil menyerap 97% tenaga kerja, menyediakan 99% lapangan kerja, menyumbang 61,07% dari total PDB, 14,37% total ekspor, dan 60,42% total investasi. Jadi sudah sepatutnyalah UMKM di Indonesia mendapat tempat yang terhormat, dikembangkan, dan diprioritaskan eksistensinya.



Antusiasme masyarakat pun tak kalah tingginya. Semakin banyak anggota masyarakat yang tertarik untuk berwirausaha. Jangan sampai momentum yang baik ini terlewatkan oleh Indonesia.

Berikut ini adalah hasil pengamatan dan desk study saya akan kebijakan- kebijakan pemerintah sebagai pelaku UMKM sejak 2010, Ketua komunitas wirausaha Ikatan Entrepreneur Cimahi, dan sebagai konsultan pengembangan UMKM sejak 2004. 

TANTANGAN KEBIJAKAN UMKM DI INDONESIA

Tidak Ada Kepastian Hukum
Selama ini jika membahas legalitas, yang terbahas hanyalah urusan legal formal seperti kemudahan perijinan, badan hukum, dst. Padahal, entitas UMKM sangatlah sederhana dan dapat dijalankan sebagai usaha perorangan. 

Hal yang jauh lebih penting ditangani adalah soal kepastian hukum. Terutama mengenai hak intelektual, perselisihan bisnis, perdata, dan peradilannya yang murah dan efektif. Tidak mungkin kita bicara mengenai industri kreatif atau inovasi, jika tidak ada perlindungan hukum akan jerih payah pemikiran seseorang untuk berinovasi.

Sementara di sisi lain, seolah- olah terjadi pembiaran terhadap usaha- usaha yang berbau penipuan, mengganggu ketertiban, atau merusak lingkungan. Sudah terlalu sering terjadi penipuan berkedok koperasi, atau travel, atau skema piramid, yang baru terungkap setelah merugikan ribuan orang bermilyar- milyar rupiah.

Kebijakan yang Kontraproduktif untuk UMKM
Pemerintah di satu sisi ingin memajukan dan mengembangkan UMKM, sementara di sisi lain menghambat bahkan mematikan pengembangan UMKM. Produk kebijakan pun banyak yang tidak mencerminkan dukungan untuk pengembangan UMKM.

Ambil contoh, dengan alasan religius, banyak terjadi penggerebekan, penutupan dan pelarangan restoran, pelarangan tempat hiburan, pelarangan makanan dan minuman tertentu, pembatasan jam buka usaha, termasuk pembiaran oleh pemerintah saat hal- hal tersebut dilakukan oleh vigilante dan kelompok radikal. 

Sudah terlalu sering terjadi pembubaran pedagang kakilima tanpa menyediakan alternatif yang baik, dengan perlakuan yang sangat tidak manusiawi. Dagangan diinjak- injak, lapak dirusak, pedagang diperlakukan seolah- olah penjahat.

Ada juga pewajiban sertifikasi tertentu yang berbiaya cukup mahal bagi UMKM. Perlakuan diskriminatif secara etnis, gender, atau preferensi pribadi sangatlah menghambat pengembangan UMKM dan ekonomi pada umumnya. 

Pendekatan yang Berkacamata Kuda
Hingga saat ini, setiap pemerintah diminta untuk mendukung UMKM, yang dihasilkan hanyalah KUR lagi, KUR lagi. Seolah- olah tidak ada jalan lain untuk pengembangan. Kredit dengan varian- variannya bukanlah satu- satunya solusi bagi UMKM, bahkan dapat menimbulkan bahaya besar yang mematikan UMKM, terutama saat penurunan ekonomi, atau terjadi overgearing. 

Dalam penurunan ekonomi dan pandemi pun yang digelontorkan adalah kredit. Padahal, kredit di masa sulit akan menjadi beban, bahkan beban jangka panjang. Bank juga ditargetkan untuk penyaluran kredit sehingga tekanan penyaluran menjadi semakin tinggi. Akibatnya, UMKM tertekan, kredit macet, dan NPL meningkat.

Begitu pula soal keringanan pajak. Hal paling tidak dikuatirkan UMKM adalah pajak. Karena dalam pikiran pelaku UMKM adalah bagaimana mendapatkan penjualan hari ini, bagaimana mengatur uang, dan hal keseharian lainnya, bukan pajak.

Pelatihan- pelatihan yang diselenggarakan pun sangat jauh dari kebutuhan dan terkesan tambal sulam, sekedar memenuhi anggaran saja. Pemerintah harus lebih kreatif dan inovatif dalam produk kebijakannya, di luar hal- hal seperti di atas.

Kebijakan Tidak Berkonsep
Pemerintah sudah bisa mengembangkan kurikulum yang jelas untuk Pendidikan. Bisa juga membuat program yang bagus untuk pembangunan infrastruktur. Tetapi, tidak pernah ada kebijakan yang jelas dan padu untuk pengembangan UMKM. Kebijakan yang ada sifatnya tambal sulam, temporal, meraba- raba, tidak sistemik.

Ditambah- tambah lagi kesenjangan SDM Pusat – Daerah, yang membuat pemerintah daerah mencari- cari sendiri solusi pengembangan UMKM, yang seharusnya dapat dibuatkan roadmap dan strategi yang jelas dari pusat.

Ambil contoh, ketika kondisi pandemi, pemerintah ramai- ramai berprogram ‘mengupgrade’ usaha offline tradisional menjadi usaha online. Semestinya, ada studi yang baik mengenai kinerja usaha online dan platformnya. Bisnis online pun membawa masalah cukup signifikan terhadap lingkungan, seperti saya tulis di sini http://www.ovicia.com/2019/10/dampak-lingkungan-dari-belanja-online.html

Tidak Mengedepankan Kepedulian Lingkungan
Seluruh pembahasan dan kebijakan UMKM hanya membahas pemasukan, GDP, dan indikator- indikator ekonomi lainnya. Sedangkan hal lain yang penting seperti lingkungan hidup dan dampak sosial, yang seharusnya diselaraskan, tidak pernah mendapat perhatian yang cukup.

Dunia sedang mengalami perubahan iklim, lingkungan penuh ancaman polusi plastik, penyakit menular, yang disebabkan ketidakpedulian manusia terhadap lingkungan. Bahkan PBB pun dengan Sustainable Development Goals nya sudah mengamanatkan kita untuk selalu memperhatikan hal ini.

Sebagai contoh dapat dilihat bagaimana joroknya pasar- pasar yang dikelola pemerintah, tidak membuat nyaman pengunjungnya. Tidak ada langkah signifikan pengurangan plastik, penghematan energi, air, dsb. , yang kesemuanya dapat dimulai dari kecil- kecilan di level UMKM.

Mitigasi Resiko UMKM
Pelaku UMKM menghadapi berbagai resiko ekstra, yang tidak hanya berupa resiko bisnisnya, melainkan juga resiko sakit, kematian, kebakaran, bencana, kemalingan, dsb. Oleh karena usaha mikro dan kecil biasanya dijalankan oleh satu orang, atau satu keluarga, maka jika terjadi sakit, kecelakaan, atau kematian, hilanglah penghasilan mereka. Sepatutnya ada mekanisme asuransi UMKM di luar BPJS yang setidaknya mengganti penghasilan yang hilang selama masa sakit.

Begitu juga aturan akan Kesehatan dan Keselamatan Kerja jarang sekali tersentuh. Banyak pekerja UMKM konstruksi yang cacat akibat kecelakaan yang luput dari perhatian.

Cara Pandang Terhadap UMKM
Ada hymne guru, mars tentara, tetapi belum terdengar ada mars UMKM. Inilah cerminan pandangan pemerintah akan UMKM. UMKM dipandang sebagai komoditas saja seolah- olah bisa ditumbuhkan sebagaimana beternak kambing atau menanam singkong. 

Perlakuan birokrat pun seolah menganggap UMKM adalah sekelompok orang yang bodoh dan miskin tidak sekolah. Lebih mempercayai analisis akademisi (yang mungkin seumur hidupnya tidak pernah berwirausaha), ketimbang masukan langsung dari pelaku UMKM yang sehari- hari menghadapi realita usaha.

UMKM diasosiasikan sebagai borderline dengan kemiskinan. Sebagai pilihan terakhir saat tidak bisa melamar kemana- mana. Kepepet butuh uang, dsb.

Kita pernah mengalami hal yang mirip dulu. Jaman dulu guru dianggap profesi yang kurang bergengsi, bergaji kecil, serba miskin, dst. Tidak ada yang tertarik jadi guru. Sejak reformasi, harkat dan martabat guru ditingkatkan secara signifikan. Gaji meningkat, profesionalisme meningkat, SDM meningkat. Kini profesi guru lebih banyak diminati generasi muda.

Kenapa tidak dilakukan hal yang sama terhadap UMKM?

Tidak Ada Data dan Harmonisasi
Setiap pelaku UMKM pasti sudah terlalu sering mengisi kuesioner, interview, diminta masukan, rapat- rapat, tanpa ada tindaklanjut yang jelas. Alangkah lebih baik jika terdapat database yang terintegrasi tentang pelaku UMKM, status pengembangannya. Jika tidak ada data yang lengkap, bagaimana kita dapat membuat kebijakan yang baik?

Harmonisasi juga satu hal yang belum terlihat. Bayangkan keseluruhan kelompok UMKM hanya dibagi ke dalam tiga kategori Mikro, Kecil, Menengah. Tidak ada pembagian sektor yang lebih rinci, pembagian tahap yang lebih jelas. Bagaimana pendataannya? Analisisnya? Kebijakannya? Sudah pasti kebijakan yang pukul rata. Padahal sektor fashion misalnya, memiliki karakteristik dan managemen yang amat sangat berbeda dengan sektor pertanian. Tentu arah pengembangannya berbeda.

Demikianlah beberapa kekurangan kebijakan yang selama ini teramati, mudah- mudahan dapat menjadi masukan dalam langkah pengembangan di masa mendatang.

SOLUSI KEBIJAKAN UMKM DI INDONESIA

Data yang Update dan Lengkap
Sangat buruklah suatu kebijakan yang diambil tanpa adanya data yang lengkap dan terkini. Indonesia sejauh ini sangatlah lemah dalam mengambil dan memproses data UMKM, yang sebetulnya tidak sulit dilakukan. Dengan pengambilan data yang lengkap, kita dapat memetakan tantangan dan peluang yang ada di Indonesia. Dengan desain survey yang baik, banyak pertanyaan yang dapat dijawab, baik secara nasional maupun secara regional, seperti:

- Memetakan sektor- sektor UMKM yang sedang berjalan dan tahap pengembangannya;
- Mengidentifikasi penyebab- penyebab kegagalan UMKM;
- Mengidentifikasi potensi- potensi pelaku UMKM baru;
- Memetakan peluang- peluang baru dan ketrampilan/ sumberdaya apa saja yang dibutuhkan;

Dengan demikian kebijakan- kebijakan pusat dan daerah dapat diambil dengan lebih tepat sasaran. Bukan berdasarkan pendapat satu dua pihak saja, melainkan berdasarkan fakta.

Kerangka Kerja/ Kerangka Program
Kebijakan selama ini juga terperhatikan masih sangat bersifat tambal sulam. Ada masalah, lalu dikeluarkan kebijakan. Tidak pernah ada suatu program terpadu, dengan tahapan- tahapan yang jelas, sehingga sebagian besar masalah UMKM malah tidak terjawab, dan 

Tidak perlu mencari- cari landasan baru. Mari kita mengacu saja kepada lima pilar pengembangan usaha (Business Enabling Environment/ BEE IFC), yakni:

  • Akses Pasar. Penyediaan infrastruktur UMKM, misalnya pasar, foodcourt, rumah produksi, rumah desain, media sosial, dsb. Pemerintah juga dapat serius mengembangkan linkage dengan BUMN atau perusahaan- perusahaan besar lainnya.
  • Akses Teknologi. Penggunaan teknologi di abad 21 ini sudah merupakan kewajiban. Pengadaan berbagai peralatan produksi, pemasaran, promosi, managemen, layanan pelanggan, beserta pelatihannya.
  • Akses Informasi. Temasuk di dalamnya adalah pendidikan, pelatihan, managemen, coaching, penyuluhan, juga informasi terkini dan terlengkap tentang program- program UMKM pemerintah. Informasi supply dan demand, info harga, analisis, dsb. Kesemuanya ini membuat UMKM yang lebih berwawasan, lebih berpengetahuan, dan 
  • Akses Hukum. Perlindungan intelektual, sertifikasi, penyelesaian perselisihan, kontrak kerjasama, dsb. Sehingga ada kepastian hukum bagi pelaku UMKM.
  • Akses Keuangan. Kreatif dalam permodalan, program kickstarter, linkages dengan investor, tidak melulu kredit. Linkages dengan BUMN, BUMD
Jika keseluruhan pilar ini terakomodasi dengan baik, besar kemungkinan Indonesia menjadi leader UMKM di seluruh dunia, mengingat SDMnya dan sumberdaya alamnya yang melimpah.

Daftar Bacaan:
  1. 2018, Asia Pacific Foundation of Canada, SURVEY OF ENTREPRENEURS AND MSMES IN INDONESIA - Building the Capacity of MSMEs Through Human Capital.
  2. 2019, Sekretaris Kementerian KUKM RI. ARAH KEBIJAKAN DAN PROGRAM PENGEMBANGAN KUMKM (Menuju KUMKM 2020-2024)
  3. 2018, Anthony Stein, Putting policies in place: Seven principles of policymaking practice
  4. 2019, ASEAN.ORG, ASEAN to strengthen evidence base to support MSME policy making
Irsan Yanuar

Komentar