Dampak Lingkungan dari Belanja Online

Penulis: IrsanYanuar

Dalam dekade terakhir ini, perilaku belanja online meningkat dengan pesat di mana- mana, tidak hanya di Indonesia, melainkan juga di seluruh dunia. Kenaikan ini dipercepat dengan semakin banyaknya portal2 dan situs belanja B2C (Business to Consumer), B2B (Business to Business), C2C (Consumer to Consumer) yang sangat memudahkan promosi dan komunikasi antara penjual dan pembeli, serta metoda- metoda pembayaran dan pengirimannya yang semakin canggih..

Bisnis online memberikan peluang besar bagi para pengusaha kecil/ UMKM, pengusaha pemula untuk dapat bersaing dengan para pengusaha yang telah mapan. Peluang pekerjaan juga terbuka luas dan meningkat pesat, seperti fotografer produk, foto model, videografi, script writing, web design, content management, editing, dsb. Kesemuanya membuka peluang terutama di kalangan generasi muda yang mudah mengadopsi teknologi baru.

Di sisi pembeli, belanja online sangatlah mudah, murah dan memberikan banyak pilihan harga dan jenis produk bagi calon pembeli. Pembeli tidak harus repot- repot pergi ke perbelanjaan, macet, boros waktu boros energi, cari parkir, dst dst.

Tidak hanya pembeli dan penjual, bisnis online juga sangat menguntungkan bagi penyedia jasa penunjang, misalnya penyedia layanan internet, perbankan dan penyelenggara transaksi keuangan, juga jasa kurir dan transportasi. Intinya, bisnis online banyak menguntungkan semua pihak.

Namun demikian, dengan semangat Triple Bottom Line (People | Profit | Planet), serta SCP (Sustainable Consumption and Production), kita juga harus memandang bisnis dari dampak lingkungan dan dampak sosialnya, selain semata- mata memandang segi keuangannya saja.

Lalu bagaimanakah dampak lingkungan dari belanja online?
Ternyata, semua keuntungan berbelanja online tersebut, jika dilihat dari kacamata PPP/ SCP menimbulkan masalah lho bagi lingkungan. Meskipun belum ada penelitian formal di Indonesia tentang ini, bolehlah kita bahas berdasarkan studi di luar negeri dan menggunakan inferensi/ logika berpikir.

Rebound Effect
Salahsatu hal yang mencolok adalah efek rebound. Di saat suatu produk dapat dijual dengan harga yang LEBIH MURAH, yang terjadi adalah orang2 akan membeli LEBIH BANYAK. Inilah yang disebut Efek Rebound.

Akibatnya, lebih banyak lagi kerugian lingkungan yang ditimbulkannya. Katakanlah, sebagai contoh, harga susu dapat dibuat lebih murah. Maka orang2 yang tadinya minum susu 1 liter/ hari, bisa membeli 2 liter/ hari. Jadi dibutuhkan semakin banyak sapi, semakin banyak pakan, dst, dst yang pada akhirnya membebani lingkungan dan planet kita ini.

Dalam hal belanja online, harga- harga menjadi murah karena biaya- biaya lebih rendah bagi si penjual. Tidak perlu sewa toko, karyawan sedikit, atau listrik dan pemeliharaan lebih rendah. Intinya, harga jual menjadi lebih rendah dan produk menjadi lebih bervariasi. Yang biasanya beli baju 3 bulan sekali, dengan belanja online bisa2 belanja 2 bulan sekali.

Emisi Karbon
Ada studi yang menarik dari University of Delaware di sini https://www.theguardian.com/environment/2016/feb/17/how-green-is-online-shopping, yang dapat saya ringkas diantaranya sebagai berikut:


  • Belanja online malah menimbulkan lebih banyak kemacetan dari belanja konvensional. Kemacetan itu memboroskan energi, emisi karbon, waktu yang terbuang. Kok bisa? Padahal kan konsumen gak kemana2, tinggal klik saja. Nah, konsumennya memang tidak kemana2, tetapi barangnya tetap harus dikirim ke tempat konsumen. Bahkan, untuk barang kecil saja semisal kacamata, tetap diperlukan motor secara keseluruhan untuk mengirimnya. Coba kita perhatikan, berapa banyak ojek online yang lalu- lalang tanpa penumpang? Kemungkinan mereka sedang membawa barang pesanan (atau menjemput seseorang).

  • Belanja online tidak mengurangi transportasi pribadi. Jadi pola belanja kita sebelumnya tidak juga membutuhkan transportasi ekstra. Misalnya, kita berbelanja offline secara borongan. Pergi ke mall, belanja bulanan atau nonton bioskop SAMBIL beli baju baru, sepatu baru, dst yang kesemuanya dilakukan sekaligus supaya tidak bolak- balik. Belanja online tidak mengurangi aktivitas tersebut. Kita tetap saja nonton bioskop, atau ke mall untuk rekreasi. Justru, belanja online menambah jumlah transport (dan emisi) untuk mengirimkan pesanan kita.

  • Belanja Online memanjakan impulsive buying. Impulsive buyers adalah orang- orang yang mudah berbelanja semata- mata karena dorongan emosional sesaat. Sebelumnya, untuk melaksanakan dorongan belanjanya, seorang impulsive buyer harus pergi ke mall, melihat sesuatu yang menarik (meskipun tidak dibutuhkan) untuk kemudian membelinya. Proses ini tidak mudah , sebab secara fisik dia harus hadir di mall tersebut. Sekarang dengan belanja online, sedikit saja foto/ video makanan, minuman, pakaian, akan memicu seorang impulsive buyer untuk langsung berbelanja. Tinggal klik dan transfer.


Limbah Plastik
Tahukah teman- teman berapa banyak plastik yang digunakan untuk pengiriman belanja online? SANGAT BANYAK! Ternyata, dari pengalaman pribadi industri fashion, produk dikemas dalam kantong plastik, dibuat kedap air dengan menggunakan banyak lakban/ selotip. Kalau barangnya mudah pecah, masih lagi digunakan bubble wrap atau busa. Lalu, di tempat pengiriman/ kurir, diberi lagi satu lapisan kantung plastik oleh penyelenggara pengiriman dengan alasan prosedur keamanan. Sehingga setidaknya ada tiga lapis plastik/ kemasan yaitu:

  1. Plastik pembungkus produk;
  2. Plastik pembungkus pesanan (dari penjual);
  3. Plastik pembungkus kiriman (dari kurir/ jasa pengiriman).

Saat belanja offline/ konvensional, lapis ke tiga ini tidak diperlukan, sementara lapis ke dua biasanya digantikan peran oleh kantong keresek belanja (yang juga menimbulkan masalah lingkungan).

Lumayan banyak ya dampak lingkungan belanja online... Nah, teman2 tidak usah risau atau kemudian stop samasekali belanja onlinenya. Cukup dengan mengurangi saja kebiasaan ini.

Apa yang dapat kita lakukan sebagai PENJUAL?

  • Gunakan kemasan kertas/ biodegradable. Saya sendiri sudah mulai mengganti plastik dengan amplop pembungkus kertas.
  • Gunakan kemasan yang dapat dipakai terus- menerus. Misalnya, wadah/ tabung/ tas plastik, bisa digunakan untuk bekal anak sekolah, tas belanja, pot bunga, dsb. Intinya jangan yang sekali pakai buang.

Apa yang dapat kita lakukan sebagai PEMBELI?

  • Kurangi konsumsi. Tahan diri untuk tidak belanja secara impulsif. Bedakan antara kebutuhan dengan keinginan. 
  • Gunakan barang/ benda selama mungkin di usia pakainya. Rawat baju, celana, kendaraan, sehingga usianya panjang.
  • Waspadai iklan. Jangan mudah tertarik dengan iklan- iklan produk baru.
  • Kalau pun belanja online, jangan gunakan pengiriman EKSPRES. Gunakanlah pengiriman reguler. Pengiriman Ekspres membuang banyak energi dan emisi ke udara.
  • Beli produk lokal. Selain mengurangi dampak negatif pada lingkungan, kita juga membantu pertumbuhan ekonomi lokal.

Nah. Mudah kan? Jika kesemuanya itu dapat dilaksanakan, artinya kita hidup HEMAT dan EFISIEN, sekaligus ramah lingkungan. Kata pepatah, HEMAT PANGKAL KAYA. Selamat mencoba!