
Kampanye melalui jejaring sosial merupakan sarana yang cukup efektif untuk mendulang suara bagi partai politik, kandidat wakil rakyat, calon pemimpin daerah, bahkan capres pada Pemilihan Umum di Indonesia.
Kampanye menggunakan jejaring sosial lebih ampuh daripada metode kampanye tradisional seperti menggunakan baliho maupun selebaran.
Pemilih muda sekarang tidak akan percaya dengan iklan-iklan kampanye di televisi. Namun, ketika ada temannya mengatakan bahwa seorang kandidat tertentu itu bagus, maka dia akan lebih percaya dengan cara seperti demikian.
Salah satu keunggulan dari sosial media adalah teknologi ini tidak mengenal batasan fisik dalam hal konektivitas.
Ketika masyarakat mendengar tentang kebaikan seorang kandidat, mereka akan menyebarkan kabar tersebut melalui jejaring sosial. Berita bagus menyebar dengan cepat, sementara berita jelek bahkan menyebar lebih cepat di media sosial.
Walaupun pengguna media sosial seperti Twitter di Indonesia hanya sekitar 30 juta, dengan 20 juta pengguna aktif, namun para pengguna tersebut mempunyai kekuatan untuk mempengaruhi orang-orang sekitarnya. Contohnya jika dalam satu keluarga ada satu saja anak yang mempunyai akun jejaring sosial, maka dia bisa berbagi tentang suatu berita atau keunggulan kandidat ke seluruh anggota keluarganya.

Sementara jika seorang "buzzer" memposting twit/ status yang menyerang atau mendukung seorang kandidat, maka pengaruhnya akan sangat besar.
Akan tetapi, lewat media sosial pun, fitnah terhadap seorang calon pun akan cepat sekali menyebar secara tidak bertanggung jawab.
Percakapan-percakapan tentang siapa yang paling ramai dibicarakan di media sosial pun bisa dipantau untuk memprediksi siapa kira-kira pemenang dari suatu pemilihan.
Saat ini di dunia parta- partai beralih ke pendekatan non-leaflet yaitu menggunakan media sosial dan media online untuk mengampanyekan visi dan misi mereka.
Eksposur media sosial kepada kandidat yang tidak populer pun bisa menjadikan dia pemenang pemilu asalkan dia sering muncul di media ataupun televisi. Orang menjadi penasaran dan mencari informasi tentang kandidat tersebut.
Pada pemilu 1999, orang sangat antusias dalam pemilu. Tidak usah disuruh atau diberi uang, pasti mereka mau mencoblos. Sementara pada pemilu 2004, antusiame pemilih menurun dan pragmatisme semakin tinggi terutama pada generasi muda. Oleh karena itu, kandidat politik harus bisa memetakan target pemilih potensial mereka agar kampanye mereka tepat serta lebih efektif dan efisien mengingat pemilih terbesar adalah masyarakat yang tinggal di perkotaan atau pinggiran kota dan bukan mereka yang berada di pedesaan.
Perubahan pola kampanye pun sekarang menuntut kandidat harus menjangkau pemilih potensial mengingat masyarakat tidak lagi memilih partai melainkan memilih calon pemimpin mereka.
Pemilih muda yang sebagian besar memiliki akses ke dunia maya dan jejaring sosial pun menjadi salah satu sumber mendulang suara potensial dalam setiap pemilihan umum atau pilkada.